ARIF RESI

Selamat Datang di Blog Arif Resi

"sebuah harapan...
dengan cara sederhana"

Selasa, 24 Mei 2011

Do Nurses Love Writing?

Do Nurses Love Writing? 

Mengapa hanya sedikit perawat yang gemar menulis? Menulis bagi banyak kalangan dianggap tidak banyak mendatangkan duit. Menulis dicap sebagai pekerjaan rumit yang bukan hak milik profesi keperawatan. Perawat tidak dididik untuk menjadi pujangga atau sastrawan. Menjadi seorang perawat yang pandai menulis ibaratnya salah sasaran. Kalau mau berkarier dalam keperawatan, menulis bukanlah jalan terbaik.
Generasi keperawatan dalam tiga darsa warsa di Indonesia minimal mengenal tulis menulis selama 12 tahun sebelum masuk kampus, mempelajari dasar-dasar ilmu keperawatan. Selama 12 tahun tersebut para calon mahasiswa mestinya mengantongi bakat yang besar dalam bidang menulis. Besarnya potensi menulis yang dimiliki oleh para calon mahasiswa keperawatan ini pada hakekatnya sebesar potensi membacanya.
Ironisnya, begitu menduduki bangku kuliah, datang tugas-tugas yang terkait dengan menulis, misalnya menyusun laporan, makalah, artikel atau karya tulis, menulis sering dijadikan momok. Menulis adalah sebuah pekerjaan rumah (PR) yang rata-rata tidak disukai oleh mahasiswa. Mahasiswa merasa ‘ogah’ terhadap PR yang bernama menulis ini. Apalagi jika jumlahnya berlembar-lembar. Seolah-olah kuliah di kampus keperawatan ini menulis bukanlah bagian dari kegiatan utama mereka. Meskipun di pihak lain mereka sadar, bahwa sebagai mahasiswa bagian terbesar dunia yang sebenarnya adalah menulis. Buktinya, meski tidak saya miliki statiskanya, berapa jumlah mahasiswa yang murni menggunakan jalan pikirannya sendiri dalam menyusun laporan, karya ilmiah hingga bahkan penelitian. Rata-rata banyak yang menyontoh (Baca: Copy Paste, Red).
Mengapa perawat tidak menyukai menulis?
Sejak menempuh pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, kebanyakan para pendidik hanya mengajarkan murid-murid untuk ‘membaca’ dan ‘membaca’. Coba lihat rata-rata perintah guru: “Anak-anak sudah membaca buku ini…halaman itu…?” “Apa yang kalian baca semalam?” dll. Kebiasaan ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama.
Akibatnya, mindset peserta didik lebih terfokus kepada kebiasaan ‘membaca’ daripada ‘menulis’. Seberapa sering anda mendengar seorang guru menugaskan demikian kepada peserta didiknya? Sebagai contoh, “Coba ditulis kembali ya apa yang anak-anak baca bab ini..halaman itu…!” Pasti bisa dihitung! Kalaupun ada, biasanya karena mata ajaran tertentu, misalnya Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itupun tidak selalu. Bagian ini dibahas hanya ada pada bab ‘Writing’.
Makanya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan, mengapa mahasiswa keperawatan kita jarang yang pintar menulis. Memang, perbendaraan buku-buku keperawatan saat ini mulai menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Tetapi belum begitu menggembirakan dan masih dikatakan jauh sekali dibanding dengan profesi lainnya. Apalagi jika yang terkait dengan ilmu pengetahuan umum. Bahwa nursing professional memang hanya sedikit sekali yang menyintai kebiasaan tulis-menulis ini, ini adalah realita.
Kalau pada saat kuliah saja sudah tidak menyintai kegiatan tulis menulis, apalagi sesudah lulus? Padahal Facebook banyak diminati. SMS antar HP juga digandrungi. Sayangnya, kebiasaan di FB dan SMS ini terbatas pada informasi singkat yang umumnya tidak membutuhkan kerja otak (Baca: Analisa, Red). Kebiasaan menulis pesan singkat (short messages) tidak dapat dikategorikan sama dengan menulis dalam arti yang sebenarnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah fenomena di mana menulis dianggap sebagai aktivitas yang tidak atau kurang menghasilkan secara financial. Apa benar demikian?
Sebelum ke luar negeri, saya pernah ‘menganggur’, dikarenakan panggilan berangkat ke Kuwait tertunda ketika ada Perang Teluk. Padahal saya sudah mengundurkan diri dari tempat kerja. Untungnya, saya memiliki beberapa teman yang bersedia membantu saya. Bergabung dengan seorang rekan sejawat, saya membantu kerja di tempat praktiknya di sebuah desa terpencil di Trenggalek Selatan.
Alhamdulillah, jauh sebelumnya, saya sudah menyintai dan akrab dengan kegiatan tulis-menulis ini. Dengan memiliki waktu luang yang lebih banyak saat ‘menganggur’ ini, kemampuan menulis saya pertajam. Sambil kerja di desa, saya bawa serta sebuah mesin ketik dan sebuah kamera sederhana. Maklum, waktu itu jangankan Galaxy Tab atau Laptop. Computer juga masih langka. Saya pun jadi penulis freelance merangkap wartawan amatir. Saya pikir tidak masalah!
Kerja di tengah-tengah masyarakat pedesaan di daerah terpencil, banyak kisah dan cerita yang bisa saya tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Macam-macam latarbelakangnya. Tulisan saya jadi berbunga-bunga. Amat beragam. Mulai dari masalah kesehatan, biografi, pengalaman nyata, hingga sosial budaya hingga keagamaan.
Menulis jadi kegiatan yang amat menyenangkan. Tidak jarang saya sambil memberikan pelayanan kesehatan, saya lakukan interview dan mengambil foto, demi kepentingan yang satu ini. Tentu saja dengan seijin mereka. Lingkungan pegunungan dan pesisir pantai di mana saya tinggal sepertinya memberikan banyak inspirasi baru bagi saya.
Keuntunganya bukan hanya itu saja. Karya-karya saya dimuat di beberapa media masa, baik yang saya kemas dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Imbalannya, subhanallah, bahkan ada majalah yang memberikan honor kepada saya, satu tulisan besarnya lebih dari gaji per bulan ketika saya bekerja formal di sebuah rumas sakit. Subhanallah!
Dari sana saya percaya, bahwa menulis tidak seperti yang banyak disangka orang. Dari sudut pandang keuangan, menulis bisa menjadi sumber rejeki yang menjanjikan bagi perawat. Waktu itu saya merasa, nama dapat, uang pun berlipat!
Ketika bekerja dan tinggal di Kuwait selama tiga setengah tahun, kegiatan menulis saya tetap berlangsung. Malah mendiang Ibu saya, tetap memegang Wesel langganan dari sejumlah penerbitan yang setiap bulan dapat ‘uang jajan’. Waktu itu menjadikan saya memiliki dua sumber penghasilan. Selain gaji hasil kerja di Kuwait saja, dan HR dari berbagai media masa.
Belum lagi tinggal di luar negeri dengan aneka pengalaman dan latar belakang sosial budaya sejumlah rekan-rekan kerja yang berbeda. Semua ini membuat obyek tulisan panjang antriannya. Habis satu, yang lain berderet menunggu. Sepertinya tidak pernah kehabisan bahan untuk menulis. Sambil aktif terlibat dalam organisasi keperawatan kita di Kuwait, hari-hari saya padat dengan tulis-menulis.
Perlahan namun pasti, saya bisa memerluas hubungan dan jaringan melalui tulisan. Kenalan jadi bertambah banyak. Kalaupun beberapa rekan perawat sibuk menabung uang buat bisnis masa depan, saya memiliki sebuah kesempatan bisnis yang tergolong unik. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ketika di Kuwait saya juga sempat mengunjungi beberapa negara tetangga di Teluk. Di samping Pakistan, Thailand dan Malaysia serta Singapore. Semuanya dilatarbelakangi ingin mencari sebanyak-banyaknya bahan untuk dituangkan ke dalam tulisan.
Belum lagi ketika pindah kerja. Dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Dari satu negara ke negara lain selama di Timur Tengah, menjadikan kekayaan khasanah tersendiri buat saya. Semuanya membuat tulisan jadi lebih berwarna. Target penerbit juga saya kembangkan.
Terus terang saja, dari tulisan-tulisan ini, tujuan hidup saya kemudian berubah. Dulu ketika masih menganggur dan pendapatan per bulan masih pas-pasan, kegiatan menulis diiringi dengan hasrat untuk memperoleh imbalan, karena kebutuhan. Sesudah di luar negeri, cara pandang saya berbeda. Menulis jadi kenikmatan tersendiri meski tidak dibayar. Karena bukan itu tujuan akhir saya. Manulis membuat pikiran selalu aktif. Mempertajam ingatan serta memperkuat daya analisa.
Lewat sejumlah tulisan, saya jadi banyak memiliki kenalan. Apakah itu seprofesi ataupun tidak. Dari kalangan pelajar maupun karyawan. Ibu rumah tangga hingga bapak-bapak. Di Indonesia maupun di luar negeri. Dari Sumatera hingga Papua. Dari Eropa hingga Amerika. Subhanallah. Menulis menjadikan hidup ini penuh berkah.
Dari kalangan profesi keperawatan, selama lebih dari 20 tahun menggeluti profesi ini, saya kembangkan sayap keprofesian melalui ketrampilan menulis. Lewat menulis, saya promosi kepada teman-teman sejawat tentang apa yang bisa kita lakukan. Lewat media tulisan, saya berkelana, dari satu kampus ke kampus lain. Tidak kurang dari 23 kampus sudah saya kunjungi dari berbagai provinsi di Indonesia. Organisasi, rumah sakit, perusahaan tenaga kerja, juga tidak saya lewatkan. Semuanya terarungi.
Lewat tulisan saya kembangan sejumlah seminar dan workshop. Lewat tulisan-tulisan, saya selenggarakan banyak pelatihan, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Lewat tulisan saya ingin tunjukkan, bahwa perawat bisa melalukan banyak hal.
Ringkasnya, perawat, jika mau maju, bisa memanfaatkan kemampuan menulisnya bukan hanya semata-mata untuk mencari uang. Perawat sanggup mengasah ketrampilan menganalisa melalui tulisan sebagai salah satu media yang paling efektif. Kehandalan menulis bisa juga mendongkrak reputasi, karier dan tentu saja gengsi.
Lewat tulisan perawat bisa berkomunikasi secara efektif tanpa harus bertemu muka langsung karena hambatan jarak dan waktu. Perawat bisa berdiskusi, mengemukakan segudang ide-ide positif, tanpa harus berdebat tatap muka. Demikian pula sekiranya ingin mempengaruhi pola pikir publik, rekan sejawat, klien, team kesehatan lain, dsb. Segala bentuk kecemerlangan bisa diekspresikan lewat tulisan.
Yang tidak kalah menarik, kalaupun mau berpolemik, tidak ada yang salah dengan memanfaatkan bahasa tulis. Toh, guna mencapai tujuan itu semua, perawat tidak perlu harus sekelas Taufiq Ismail atau Mochtar Lubis!


Doha 23 May 2011
Shardy2@hotmail.com